Rabu, 04 Januari 2012

Hujan Dibatas Budaya

     Mungkin aku bukannlah satu-satunya anak yang mengeluh tinggal diperbatasan. Begitu banyak terjadi kesenjangan, dan kami berada diposisi yang tertinggal. Beginilah nasib kami, nasib desaku. Sebuah desa diperbatasan negara, diperbatasan budaya.
     Hari ini aku ingin mengubah nasib, bukan hanya nasibku sendiri, melainkan nasib seluruh warga desa. Ya, aku beranjak ke negara tetangga untuk menuntut ilmu. Aku tak memiliki banyak, hanya modal seragam yang terbuang dan modal harta yang takterbilang. Tapi modal keinginanlah yang terbesar.
     Hari pertamaku sekolah, di SD Blotongton, Negara Malaysekali, penuh tantangan. Hujan menyambutku dengan amarahnya. Gemuruh dan kilatan petir menyapaku dengan ganasnya. Tapi semangat juang ku tak patah sampai disini. Aku yakin, ganas dan besarnya badai, mencerminkan akhir cita-citaku menjadi besar dan ganas seperti badai. Lonceng istirahat berbunyi.Tak ada seorangpun yang mengajakku bermain, berkenalanpun tidak. Aku memberanikan diriku bergabung dengan yang lain. Tak sangka, aku mendapat respon yang menyakitkan. 
"Apa kamu anak Indonista! kamu ga pantas main sama anak-anak saudagar." semua teman-teman mencemoohku dan negaraku. Aku memilih mengalah demi kebahagian mereka. 6 tahun aku bisa bertahan dengan keadaan ini. 3 tahun berikutnya, aku memutuskan untuk tetap menuntut ilmu dinegara sebelah karena didesaku tidak ada sekolah. Perjalanan menuju kota di negaraku lebih jauh daripada perjalanan dinegara tetangga, sehingga aku tetap memilih sekolah dinegara itu. 3 tahun berlalu, 3 tahun lagi aku lewati. 12 tahun aku menuntut ilmu dinegara itu, saatnya aku mencari ilmu dinegara sendiri.
     Tidak, ternyata saku orangtuaku tak mampu memenuhi saku pejabat-pejabat dikampus yang aku idamkan. "Kampus biasa saja tidak mampu, bagaimana dengan kampus idaman?" Itu yang selalu ayah katakan pada ku. Baiklah, aku terima dengan lapang. Keseharianku kini mengabdi pada desa. Aku bangun suatu proyek saluran air bersih. Selang-selang penyalur air bersih itu melewati batas negara, batas budaya, menjulur didalam tanah, menapaki gunung dan lembah-lembah. Suatu ketika terjadi masalah. Air bawah tanah tercemar oleh limbah perusahaan yang dibangun, yang katanya dinegara sebelah. Bullshit. Itu negara kami, bodoh! Kami hidup semakin sengsara. Aku geram. Akhirnya aku memberanikan diriku demo diperusahaan itu. Hanya aku. Warga desa tak punya nyali untuk menantang perusahaan adidaya itu, mereka mempercayakan seluruhnya padaku. 
     5 langkah aku berdiri didepan gapura perkasa perusahaan, menghalangi jalannya kendaraan yang ternyata bos dan pemilik saham. Percekcokan dan perkelahian pun terjadi, seluruh pegawai perusahaan mengeroyokiku. Babak belur, aku terkapar. Darahku hampir habis, namun darah juang dan darah pengabdianku masih tersimpan banyak. Aku bangkit dan berusaha berkata lembut. Namun apa yang terjadi? Tiba-tiba hujan dan air bah menerjang. Bukan dari langit, bukan dari kayangan. Ternyata hujan berasal dari saluran air yang tersendat didalam tanah dibawah perusahaan, dan memancar keluar. Hujan limbah dan terjangan air bah menenggelamkan seluruh kawasan perusahaan itu, perusahaan yang telah mengambil lahan negara Indonista secara paksa. 
     Akhirnya aku tak kuasa bertahan diterjangan air limbah. Inilah akhir hidupku, mati karena hujan dibatas budaya, dibatas penuh nista.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar